Senin, 21 Februari 2011

Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura

Herlina Tarigan dan Ening Ariningsih
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl. A. Yani 70, Bogor

Abstract
Beside as staple food, sago can be utilized as raw materials for agroindustry that plays roles in increasing community’s income through employment and value added generation.  This research aims to analyze the opportunities and constraints of sago agroindustry development in Jayapura District, Papua Province. Data analyzed are both primary and secondary data.  The result of the research shows that sago agroindustry has a relatively big opportunity to develop in Jayapura, considered from the geographic site of Jayapura, raw material availability, technology, and government policy.  On the other hand, it is faced to some main constraints, such as farming culture of sago farmers, and land ownership system which is controlled by local people while industrial activities are controlled by presentiments.  Furthermore, there’s no service office which officially in charge in the development of sago farmers.  Some policies needed to be implemented are:
(1) to decide and deliver sago development to one related technical service office, and (2) processing system should be considered as a part of demand side strategy, so that technology engineering and partnership development are urgent to realized.
Key word: agroindustry, sago, Jayapura

Abstrak
Selain sebagai bahan pangan pokok, sagu bisa digunakan sebagai bahan baku agroindustri yang berperan dalam peningkatan pendapatan masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah.  Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peluang dan kendala pengembangan agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Data yang dianalisis meliputi data primer dan sekunder.  Hasil analisis menunjukkan bahwa agroindustri sagu mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan, dilihat dari segi geografis, ketersediaan bahan baku, teknologi, maupun kebijakan pemerintah, namun kendala terbesar terletak pada budaya bertani petani sagu dan sistem pemilikan lahan yang dikuasai penduduk lokal sementara kegiatan industri dikuasai pendatang. Di sisi lain, belum ada dinas yang secara resmi menjadi penanggungjawab pengembangan maupun pembinaan petani sagu.  Beberapa kebijakan yang perlu diimplementasikan adalah memutuskan dan menyerahkan pengembangan dan pembinaan komoditas sagu pada salah satu dinas teknis, sistem pengolahan dipandang sebagai bagian dari subsistem agribisnis yang bisa berperan sebagai bagian dari pendekatan permintaan (demand side strategy) sehingga rekayasa teknologi dan membangun kemitraan mendesak untuk direalisasikan.
Kata kunci: agroindustri, sagu, Jayapura

I. PENDAHULUAN

Kegiatan agroindustri merupakan bagian integral dari sektor pertanian, yang mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi, terutama di wilayah pedesaan ((Suryana, 2004). Pengembangan agroindustri tidak saja ditujukan dalam rangka peningkatan jumlah pangan dan jenis produk pangan yang tersedia di pasar, tetapi bisa meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat melalui peningkatan produksi bahan baku dan nilai tambah, sekaligus meningkatkan ekonomi daerah. Pengembangan agroindustri turut menciptakan lapangan pekerjaan dan pengembangan pasar. 
Agar pengembangan agroindustri meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan biasanya dilaksanakan dengan tiga pola yaitu: (1) agroindustri berintegrasi langsung dengan usahatani keluarga, (2) agroindustri berintegrasi langsung dengan perusahaan pertanian, dan (3) agroindustri tidak berlokasi di pedesaan.  Agroindustri pangan diharapkan menghasilkan produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi terutama produk siap saji, praktis dan memperhatikan masalah mutu (Lukminto, 2004).   Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah harga produk yang lebih terjangkau, lokasi dekat dengan konsumen, tempat berbelanja yang nyaman dan penyajiannya yang baik (Ibrahim, 1997).
Kabupaten Jayapura merupakan salah satu wilayah di Provinsi Papua yang memiliki potensi sebagai sentra produksi sekaligus sentra konsumsi sagu, namun sampai saat ini agroindustri pengolahan sagu kurang berkembang.  Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peluang dan kendala pengembangan agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.



II. METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan memiliki potensi sebagai sentra produksi sekaligus konsumsi sagu, industrinya sudah mulai dikembangkan dan posisinya dekat dengan Kota Jayapura sebagai ibukota provinsi sekaligus pintu gerbang perdagangan.
Data yang dianalisis meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani sagu (21 responden), pedagang sagu di pasar (2 responden), pelaku industri sagu (2 responden), pedagang pemasaran hasil industri (2 responden), dan instansi-instansi terkait seperti Disperta, Disbun dan Disperindagkop Kabupaten Jayapura.  Data dan informasi yang digali meliputi aspek pertanian sebagai pengahsil bahan baku untuk agroindustri sagu, agroindustri sagu, serta aspek penunjang yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pengemabngan agroindustri sagu. Sementara itu, data sekunder berupa data luas areal, produksi tanaman sagu, dan harga bulanan sagu diperoleh BPS Provinsi Papua.  Data dianalisis secara kualitatif dan disajikan dalam bentuk deskriptif.

III.  HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Sekilas Kondisi Umum Produksi dan Konsumsi Sagu
Sagu merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua terutama masyarakat yang berada di dataran rendah (pesisir pantai Utara) seperti di Kabupaten Jayapura. Menurut sejarahnya, pilihan mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok merupakan reaksi terhadap ketersediaan tumbuhan tersebut di sekitar tempat tinggal mereka.  Tanaman sagu tumbuh subur di dataran rendah berawa dengan beragam varietas. BPTP Papua sudah berhasil mengoleksi sekitar 64  jenis varietas sagu yang tumbuh di dataran rendah Papua.
Sampai tahun 2006, luas tanaman sagu di seluruh Provinsi Papua adalah sekitar 513,000 ha dengan produksi 139 ton dan melibatkan 1,663 petani (BPS Provinsi Papua, 2007). Di Kabupaten Jayapura terdata seluas 25,488 ha atau 4,97 persen dari luas tanaman sagu di Provinsi Papua.  Sebagian besar tanaman sagu masih merupakan tanaman liar yang tumbuh dengan sendirinya. Sedikit sekali yang sudah melakukan penanaman dengan budidaya yang sangat sederhana, tanpa jarak janam, tanpa pemupukan atau pemeliharaan intensif. 
Sekalipun merupakan sumber makanan pokok, belum ada dinas yang secara resmi menjadi penanggungjawab pengembangan maupun pembinaan petani sagu. Oleh karena itu, seluruh data menyangkut komoditas ini mengarah pada perkiraan. Penguasaan terhadap tanaman sagu umumnya berpijak pada keberadaan tanah adat.  Pemeliharaan dan pemanenan dilakukan secara bergotong royong dengan sesama anggota suku.  Teknologi pemanenan yang digunakan pun masih sangat sederhana, berupa pemotongan dengan kampak lalu dibelah dengan kayu. Sejak tahun 80-an petani berubah menggunakan alat belah berupa linggis.  Selanjutnya, sagu dikerok dengan pangkur, yang belakangan sudah menggunakan mesin yang sekaligus berfungsi untuk memarut.
Sebagian besar hasil panen sagu diproses menjadi bahan konsumsi pokok keluarga yang diolah dalam bentuk papeda dan kapurung. Sagu juga dikonsumsi sebagai makanan selingan seperti sagu lempeng, sinoli, bagea, dan buburnee. Jika ada sagu yang dijual, umumnya terbatas dalam bentuk pati sagu basah, belum diolah menjadi tepung sagu.  

3.2. Agroindustri Sagu dan Produk Olahannya
Agroindustri merupakan kegiatan dengan ciri: (a) meningkatkan nilai tambah, (b) menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan, (c) meningkatkan daya simpan, dan (d) menambah pendapatan dan keuntungan produsen (Hicks, 1995). Sifat kegiatannya mampu menciptakan lapangan pekerjaan, memperbaiki pemerataan pendapatan dan mempunyai kapasitas yang cukup besar untuk menarik pembangunan sektor pertanian.
Berdasarkan produk yang dihasilkan, kegiatan agroindustri termasuk pada kegiatan yang melakukan perubahan bentuk. Sagu yang diolah dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri seperti industri pangan, industri perekat, kosmetika, pakan ternak, tekstil, farmasi, pestisida, industri kimia, bahan energi dan bahkan hasil sampingnya dapat diolah menjadi bahan bakar, medium jamur, pembuatan hardboard atau bahan bangunan (Kindangen dan Malia, 2003), dan juga biodegradable plastic (Pranamuda et al., 1996), 
Hingga tahun 2007, pengolahan sagu di Papua masih sebatas dalam industri pangan dengan pemanfaatan native starch (pati asli). Pengolahan produk pangan sagu bisa dibagi ke dalam tiga bentuk yaitu pertama, pengolahan sagu tradisional yang dikonsumsi langsung, baik oleh produsen maupun dijual ke konsumen;  kedua, pengolahan sagu menjadi tepung sagu; dan ketiga, pengolahan tepung sagu menjadi aneka kue sagu. Ketiganya dapat dikategorikan pada proses pengolahan yang masih sangat sederhana.
1. Pengolahan Sagu Tradisional
Pengolahan sagu secara tradisional merupakan bagian yang terbanyak dilakukan terutama oleh masyarakat lokal. Bagian tanaman sagu yang digunakan untuk bahan pangan adalah pati sagu berupa hasil ekstraksi dari empulur batang sagu.  Proses ekstraksi pati sagu masih menggunakan cara konvensional dengan alat manual. Setelah diparut, sagu diremas-remas dengan dicampur air kemudian disaring dan air hasil ekstraksinya diendapkan untuk diambil patinya.
Pada tahun 2000, LIPI memperkenalkan alat pemarut batang aren dan sagu yang dibuat oleh Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna.  Alat ini merupakan silinder bermata pemarut yang berputar pada porosnya. Pemarut ditujukan untuk agroindustri skala kecil pengolahan tepung aren dan sagu. Namun lokasi hutan sagu yang relatif jauh dari pemukiman dan sulit dijangkau alat transportasi merupakan hambatan untuk mengadopsi alat pemarut ini. Masyarakat mengharapkan bentuk alat yang fleksibel untuk dibawa sampai ke lokasi tanaman.
Produktivitas dan mutu pati sagu basah yang dihasilkan juga masih relatif rendah. Di tingkat petani, pati atau aci sagu basah dikemas dalam dua jenis kemasan berupa anyaman daun sagu (tumang) dan kantong (sak) tepung terigu. Berat rata-rata tiap kemasan sekitar 50-60 kg.  Pati sagu basah dijual dalam bentuk irisan-irisan tanpa dikemas. Setiap tumang diiris menjadi 30 irisan dengan harga jual Rp 10.000 per iris. Pedagang membeli dengan harga Rp 200.000 per tumang, sehingga penjualan eceran dapat memberi keuntungan lebih kurang Rp 100.000 per tumang.  Pati basah diolah menjadi papeda, sagu bakar dan sagu forno.
2. Pengolahan Tepung Sagu
 Pengolahan sagu skala industri sudah lama berkembang di Papua dengan produk utama adalah tepung sagu yang merupakan produk setengah jadi (intermediate product). Bahan baku pembuatan tepung sagu berupa pati sagu yang masih basah.  Satu tumang (sak) pati sagu atau sekitar 50-60 kg diaduk dengan air bersih dan disaring untuk mengeluarkan kotoran. Selanjutnya pati sagu diendapkan selama 3 hari untuk mengeluarkan getah lendir dan sisa ampas sagu, lalu  direndam dengan air selama 1 jam. Air yang dipakai merendam dibuang dan pati sagu dijemur selama 6 jam. Pati yang sudah kering digiling dengan mesin penggiling lalu diayak. Tepung sagu yang dihasilkan bisa mencapai 25 kg, yang kemudian dikemas dengan plastik ukuran 1 kg. Tepung sagu yang sudah dikemas bisa disimpan hingga satu tahun. Selama satu minggu pengrajin mampu mengolah pati sebanyak 6 tumang pada musim kemarau dan 4 tumang pada musim penghujan. Tepung sagu dipasarkan melalui supermarket di Jayapura, Timika, Sorong, dan Wamena bahkan pernah menjual ke Papua Nugini melalui jalur ekspor tidak resmi.
Dalam rangka pengembangan industri ini, pemerintah setempat pernah memberikan bantuan mesin pengering tepung sagu berkapasitas 1 ton per hari, namun alat  belum pernah digunakan karena keperluan bahan bakarnya terlalu  banyak, sehingga biaya operasionalnya tinggi dan kapasitasnya terlalu besar, sehingga memerlukan bahan baku yang banyak.

3. Pengolahan Aneka Makanan Berbahan Baku Tepung Sagu
Pada tingkat nasional, pati sagu sudah dapat digunakan dalam industri pangan sebagaimana tepung beras, jagung, kentang, gandum dan tapioka, baik sebagai bahan baku maupun sebagai bahan substitusi.  Pati sagu sudah lama dikenal dan digunakan dalam industri kecil dan skala rumah tangga, misalnya untuk membuat makanan kecil (kue) berupa ongol-ongol, kerupuk, bakso, empek-empek, soun, dan mi, bahkan tepung sagu juga dapat digunakan sebagai substitusi tepung gandum dalam memproduksi roti tawar dan biskuit.  Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa substitusi tepung terigu dengan pati sagu sampai 30 persen tidak mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan (Pangloli dan Royaningsih, 1992).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian juga mencoba membuat beras tiruan dengan bahan baku tepung sagu dan ubikayu (Samad, 2003). Beras tiruan tersebut memiliki komposisi bahan kimia yang  mirip dengan beras, yaitu kandungan karbohidrat sebesar 81,3-83,9 persen, protein 13 - 2,4 persen, dan lemak 0,21 -0,45 persen. Kandungan karbohidrat, protein, dan lemak pada beras adalah 77,9, 6,9, dan 0,7 persen. Kandungan karbohidrat beras tiruan jauh lebih tinggi. Hal ini yang menyebabkan masyarakat setempat mengaku lebih kenyang mengkonsumsi sagu daripada makanan pokok lain seperti beras. Beras tiruan juga mempunyai daya simpan dalam kondisi sudah dimasak mencapai 18 jam (lebih tahan lama dibanding beras). Namun, dalam penyimpanan dalam bentuk mentah beras tiruan ini lebih cepat rusak.
Pengolahan makanan yang berasal dari pati sagu belum berkembang dengan baik di Provinsi Papua. Baru dua industri skala kecil yang mengolah pati sagu basah menjadi tepung sagu dan aneka kue kering dengan bahan baku tepung sagu. Salah satu diantaranya sudah mampu membuat kue kering hingga 15 macam dengan essence rasa yang beragam mulai dari keju, jahe, coklat, dll.  Agar kemasannya lebih menarik, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jayapura sudah merancang dan mencetak kemasan berupa kotak yang didesain sedemikian rupa hingga kue sagu layak menjadi ciri khas makanan Papua untuk dibawa keluar Papua baik sebagai oleh-oleh atau diperdagangkan lagi.  Namun, hingga kini perdagangan kue sagu masih sebatas pasar, toko atau swalayan di dalam Papua. 

3.3. Kendala Pengembangan Agroindustri Sagu di Jayapura
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri sagu di Jayapura dimulai dari ketersediaan bahan baku tumbuhan sagu yang belum terbiasa dibudidayakan sehingga sangat tergantung kepada alam.  Upaya pengembangannya sering terbentur pada budaya bertani sagu yang masih bersifat berburu-meramu atau tebang jual.  Penguasaan tanah berupa hak ulayat menjadi faktor yang menyulitkan upaya pengembangan.
Pengolahan sagu untuk pembuatan masakan yang dikonsumsi langsung, tepung sagu maupun kue aneka sagu, masih menggunakan teknologi yang sangat sederhana.  Inovasi teknologi berupa alat pemarut dan oven bertenaga listrik belum diadopsi oleh petani atau pengusaha industri dengan alasan lebih boros, rumit dan kapasitasnya yang terlalu besar dibanding penggunaan kompor minyak tanah.  Pengeringan tepung sagu lebih memilih menggunakan sinar matahari.
Permasalahan pengolahan sagu secara tradisional terletak pada kapasitas olah, rendemen dan mutu hasil yang rendah serta tingkat kehilangan hasil cukup tinggi. Sejak 1997, Balai Penelitain Kelapa (Balitka) sudah membuat alat yang berfungsi majemuk. Alat pengolah sagu yang terdiri atas tiga buah unit operasi yaitu pemarut, ekstraksi, dan pengendapan. Kapasitas olah alat mencapai 190 kilogram per jam atau setara dengan 1.600 kg per hari. Rendemen basah cukup tinggi, yaitu 24,5 -30 persen dan tingkat kehilangan hasil 2,4-32 persen. Air yang digunakan lebih hemat 4 sampai 5 liler per kilogram empulur. Namun harga alat tersebut masih relatif mahal bagi petani maupun pengusaha agroindustri sagu skala kecil, yaitu Rp 25.000.000 per unit.  Alat ini lebih cocok untuk agroindustri yang terintegrasi dari hulu (panen sagu) hingga pembuatan tepung.     Disamping itu, kapasitas produksi pati sagu harus relatif besar (lk. 10 batang sagu per hari). Penyediaan bahan mentah sedemikian banyak secara kontinyu belum memungkinkan.

3.4.   Peluang dan Tantangan Pengembangan Agroindustri
Berbagai faktor yang menjadi peluang dan tantangan dalam pengembangan agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura adalah:
  • Daya dukung lahan untuk tanaman sagu di Kabupaten Jayapura cukup luas.  Demikian pula kondisi iklim di Kabupaten Jayapura dinilai sangat sesuai untuk pertumbuhan sagu. Umumnya tanaman sagu tumbuh sendiri tanpa dibudidayakan. Tanaman sagu cukup dominan di habitatnya sehingga tidak pernah ditumpangsarikan, tetapi bisa berkompetisi secara campuran (mix cropping) di hutan. Upaya untuk membudidayakan sagu dengan lebih intensif, produksi dan produktivitas sagu bisa ditingkatkan, sehingga dapat menjamin ketersediaan bahan baku bagi agroindustri sagu. Hal ini merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan
  • Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura melalui Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No. 3/2000 tentang perlindungan hutan sagu sangat bermanfaat bagi kelestarian sumberdaya sagu. Disamping itu, agroindustri yang menggunakan bahan baku sagu perlu diberi porsi pembinaan yang memadai.
  • Selain peluang di atas, ada beberapa tantangan yang jika tidak ditangani dengan baik bisa mengancam perkembangan industri sagu, antara lain budaya panen tanpa budidaya, transportasi antar daerah/sentra yang mahal, daya serap produk olahan di pasar lokal yang terbatas dan perubahan selera konsumen dari sagu ke beras yang diperkuat adanya raskin.


IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Pengembangan agroindustri sagu di Kabupaten Jayapura mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan, dilihat dari segi geografis, ketersediaan bahan baku, teknologi, maupun kebijakan pemerintah. Namun kendala terbesar terletak pada budaya bertani petani sagu dan sistem pemilikan lahan yang dikuasai penduduk lokal sementara kegiatan industri dikuasai oleh pendatang.
Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam rangka mengembangkan agroindustri sagu adalah memutuskan dan menyerahkan pengembangan dan pembinaan komoditas sagu pada salah satu dinas teknis. Ini akan menuntun pemerintah melalui dinas terkait untuk lebih serius melakukan langkah operasional dalam pengembangan baik dari sisi peningkatan produksi agar bahan baku industri tersedia secara kontinu (Disperta/Perkebunan), pengolahan dan pemasaran (Disperindag),  teknologi (BPTP dan Mektan), maupun kelembagaan (KIPP).
Pengembangan agroindustri sagu sebaiknya diprioritaskan untuk mendorong pengembangan agroindustri kecil dan menengah di pedesaan. Karena sub sistem pengolahan merupakan kelanjutan dari sub sistem produksi maka bisa berperan sebagai bagian dari pendekatan permintaan (demand side strategy).
Teknologi yang kurang diadopsi memerlukan rekayasa ulang untuk menciptakan teknologi yang prosedur kerjanya lebih mudah dan murah. Kapasitas olah perlu disesuaikan dengan kemampuan ketersediaan bahan baku namun tetap dengan pertimbangan ekonomis.
Agar kegiatan agroindustri sagu bisa memberi peningkatan nilai tambah yang berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan petani maka perlu membangun pola kemitraan yang adil antara petani produsen sagu, pelaku industri berbahan baku sagu dan pelaku pasar yang dapat memenuhi permintaan pasar lokal maupun ekspor.  Pada tahap awal, pembentukan kerjasama ini perlu difasilitasi oleh pemerintah terutama dalam pembangunan infrastruktur, akses terhadap permodalan, pembinaan kewirausahaan dan promosi pasar.

DAFTAR PUSTAKA
BPS Provinsi Papua, 2007. Papua Dalam Angka 2006. BPS Provinsi Papua. Jayapura.
Hicks, P. A. 1995. An Overview of Issues and Strategies in The Development of Food Processing Industries in Asia and The Pacific, APO Symposium, 28 September-5 Oktober. Tokyo.
Ibrahim, D. 1997. Strategi Pemasaran Industri Pangan Dalam Globalisasi. Majalah Pangan. No. 33, Vol IX. Jakarta.
Kindangen, J. G. Dan I. E. Malia.  2003. Pengembangan Potensi dan Pemberdayaan Petani Sagu di Sulawasi Utara. Dalam Prosiding Seminar Sagu Nasional Sagu untuk Ketahanan Pangan. Manado, 6 Oktober. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.
Lukminto, H.  1997. Strategi Industri Pangan Menghadapi Pasar Global. Majalah Pangan No. 33, Vol. IX.
Pangloli. P. dan Royaningsih.  2993. Pengaruh Substitusi Terigu Dengan Pati Sagu dalam Pembuatan Biscuits Marie dan Cracker. Dalam Prosiding Simposium Sagu Nasional. Ambon, 12-13 Oktober 1992.
Pranamuda, M. Y. Tokiwa dan H. Tanaka. 1996. Pemanfaatan Pati Sagu Sebagai Bahan Baku Biodegradable Plastik. Makalah Simposium Nasional Sagu III. Pekanbaru, 27-28 Februari  1996.
Samad, M. Y. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Ubikayu dan Sagu. Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003. Vol. II. Hal 36-40/Humas-BPPT/ANY, BPPT.  Jakarta.
Suryana, A. 2004. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005-2009.  Bagan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN MIE


S. Joni Munarso1) dan Bambang Haryanto2)
1) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor-16114
2) Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri, BPPT 
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta

Abstrak


Telah diketahui bahwa mie merupakan bentuk pangan yang sudah populer di Indonesia.  Pangan mie ini asalnya dari China.  Di Indonesia banyak dijumpai pangan berbentuk mie. Tingkat teknologinya bervariasi dari yang sederhana sampai yang canggih.  Demikian pula tingkat industrinya mulai dari industri kecil sampai industri besar. Bahan baku untuk pembuatan pangan berbentuk mie ini bervariasi, dari mulai beras, gandum, aren, sagu dan bahkan tapioka. Secara laboratorium bahan baku untuk pembuatan mie dapat dilakukan tanpa harus menggunakan terigu, dimana secara skala laboratorium dapat berjalan dengan baik. Namun bagaimna penerapan di skala industri. Makalah ini mecoba membahas pengembangan industri pangan bentuk mie dengan bahan baku berasal dari gandum maupun non gandum. 
 
Kata kunci : mie, technologi, produksi, komoditas


1. Pendahuluan


 Mie merupakan jenis makanan yang diperkirakan berasal dari daratan Cina. Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina, yang selalu menyajikan mie pada perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang (Juliano dan Hicks, 1990). Dalam perkembangannya, mie merupakan produk yang sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, mie bahkan telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi.
Beragam  jenis mie telah dikenal masyarakat, namun mie instan merupakan ragam  mie yang paling popular. Dataconsult (1995) melaporkan bahwa konsumsi mie instan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta bungkus atau setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun berikutnya konsumsi mie instan meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal tahun 2000-an sekarang ini, angka ini diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% per tahun. Impor gandum  Indonesia tahun 2002 mencapai 4 juta ton  dan angka ini akan terus meningkat (World Grain 2003)  Sebagian besar bahan gandum tadi dibuat tepung terigu dan digunakan  sebagai bahan baku pembuatan mie.
Perkembangan konsumsi mie pesat memberi pelajaran bahwa mie merupakan jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan atau preferensi konsumen Indonesia. Namun di sisi lain, konsumsi mie seperti saat ini berpeluang menurunkan devisa negara, mengingat mie merupakan produk yang dibuat dari tepung terigu, suatu komoditas impor. Sementara itu, pembangunan pertanian nasional telah mampu menghasilkan beragam komoditas sumber karbohidrat yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya, terutama dalam rangka penyediaan pangan alternatif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pemikiran yang paling sering muncul adalah perlunya pengembangan teknologi mie berbahan baku tepung selain terigu, misalnya dengan memanfaatkan tepung beras, sorgum, kasava, sagu dan sebagainya.
Teknologi seperti dimaksud di atas sebenarnya telah tersedia, namun belum sepenuhnya dapat diterapkan mengingat kelengkapan produksinya, seperti alat proses produksi, ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kwantitas dan kalitas belum terpenuhi. Konsistensi produk (dalam arti mutu dan penampilannya) dalam uji coba skala semi komersial juga belum terjamin. Beberapa teknologi bahkan dihasilkan melalui proses yang belum didukung dengan perancangan yang memadai. Makalah ini membahas perkembangan teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu dan peluang penerapannya dalam produksi mie di Indonesia.

Jenis Dan Pembuatan Mie
 Aneka jenis mie dapat ditemukan di pasar. Keragamannya yang luas seringkali membuat konsumen mempertanyakan spesifikasi dari setiap produk yang bersangkutan. Dalam kegiatan sehari-hari telah dikenal berbagai sebutan untuk mie dan produk sejenis mie, misalnya mie instan, mie telur, mie basah, bihun, sohun dan sebagainya. Secara  sederhana, beragam jenis mie ini dapat dikelompokkan berdasarkan bahan baku yang digunakannya. Namun demikian, setiap mie memiliki perbedaan dalam proses produksinya. Uraian berikut menjelaskan teknik pembuatan berbagai jenis mie tersebut, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaannya.
1. Mie Berbahan Baku Terigu
 Berbagai jenis mie yang menggunakan terigu sebagai bahan baku telah dikenal masyarakat. Selain mie instan, jenis mie yang dikenal cukup luas adalah mie segar (mie mentah), mie basah, mie kering, dan mie telur. Meskipun tampak beragam, tahap awal pembuatan mie ini serupa, yakni melalui tahap pengadukan, pencetakan lembaran (sheeting), dan pemotongan (cutting). Tergantung pada komposisi bahan (ingredient), tingkat atau cara pemasakan lanjutan dan tingkat pengeringannya, maka suatu mie dapat dimasukkan dalam kelompok mie tertentu.
a. Mie Segar 
Mie Segar sering juga disebut mie mentah. Jenis ini biasanya tidak mengalami proses tambahan setelah benang mie dipotong (Hoseney, 1994). Mie segar umumnya memiliki kadar air sekitar 35%, yang oleh karenanya mie ini bersifat lebih mudah rusak. Namun jika penyimpannya dilakukan dalam refrigerator, mie segar dapat bertahan  hingga 50-60 jam dan menjadi gelap warnanya bila melebihi waktu simpan tersebut. Agar diterima konsumen dengan baik, mie segar harus berwarna putih atau kuning muda. Mie ini biasanya dibuat dari terigu jenis keras (hard wheat), agar dapat ditangani dengan mudah dalam keadaan basah.
b. Mie Basah
Mie Basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan. Biasanya mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga mie basah tidak mengalami perubahan warna selama distribusi. Di Cina, mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak dan ditambahkan Kan-sui. Yang dimaksud kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh garam natrium dan kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan mie yang kuat dengan warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali (Hoseney, 1994). 
c. Mie Kering
Produk ini tidak mengalami proses pemasakan lanjut ketika benang mie telah dipotong, tetapi merupakan mie segar yang langsung dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10% Pengeringannya biasanya dilakukan melalui penjemuran. Karena bersifat kering, daya simpannya juga relatif panjang dan mudah penanganannya.
d. Mie Telur
Mie Telur umumnya terdapat dalam keadaan kering ketika dipasarkan. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan memasarkan mie telur dalam keadaan basah. Faktor komposisi bahan adalah faktor yang membedakan mie telur ini dengan mie kering maupun mie basah. Dalam pembuatan mie telur biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur pada saat pembuatan adonan. Penambahan telur ini merupakan suatu variasi dalam pembuatan mie di Asia, sebab secara tradisional mie oriental tidak mengandung telur. Sebaliknya di Amerika Serikat, penambahan telur merupakan suatu keharusan. Sebagai contoh, mie kering harus mengandung air kurang dari 13% dan padatan telur lebih dari 5,5% (Hoseney, 1994) 
e. Mie Instan
Mie instan seringkali disebut juga sebagai ramen atau ramyeon di luar negeri. Mie ini dibuat dengan menambahkan beberapa proses setelah mie segar diperoleh pada akhir tahap pemotongan. Tahap-tahap tambahan tersebut adalah pengukusan, pembentukan (forming, per porsi), dan pengeringan. Mie instan dengan kadar air 5-8% biasanya dikemas bersama dengan bumbunya. Dalam keadaan seperti ini, mie instan memiliki daya simpan yang lama.
Berdasarkan proses pengeringannya, dikenal dua macam mie instan. Pengeringan yang dilakukan dengan cara menggoreng menghasilkan mie instan goreng (instant fried noodle). Sedangkan bila dikeringkan dengan udara panas akan diperoleh mie instan kering (instant dried noodle).
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3551-1994, mie instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Berdasarkan pengertian tersebut, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie instan, yang salah satu diantaranya adalah porositas mie.
Porositas mie sangat berhubungan dengan waktu rehidrasi. Faktor ini juga sangat terkait dengan ketebalan mie. Karena itu, proses sheeting merupakan tahap yang cukup menentukan, selain faktor-faktor seperti sifat bahan baku, tahap pengukusan dan penggorengan. Untuk mendapatkan porositas, konsistensi, dan elastisitas yang tinggi, ke dalam formula juga dapat ditambahkan bahan penunjang seperti monogliserida, lesitin, natrium karbonat dan sebagainya (Papotto dan Zorn, 1986). Pada produk mie instan komersial sering digunakan pula kalium karbonat, natrium polifosfat, karboksimetil selulosa (CMC) dan kadang-kadang guar gum.
Nishita et al. (1976) menyebut CMC sebagai bahan pengganti gluten (gluten substitute). Hal ini didasarkan pada peranan penting senyawa tersebut dalam keberhasilan pengembangan roti dari tepung beras. Dalam teknologi roti beras ini, CMC digunakan sebanyak 3% (Bean dan Nishita, 1985).
Hoseney (1994) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan penerimaan konsumen yang baik, mie instan harus bebas dari ketengikan. Bila mie instan direbus sebaiknya tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air perebusan. Setelah direbus, mie harus masih cukup kompak dan permukaannya tidak lengket.
Menyangkut aspek warna, Hoseney (1994) menyatakan bahwa konsumen umumnya menyukai warna putih. Namun demikian hampir seluruh mie instan komersial di Indonesia berwarna kuning. Untuk membentuk warna kuning, dalam pembuatan adonan dapat digunakan larutan Brine (Baik et al., 1994). Larutan Brine merupakan larutan dengan komposisi 5,18% natrium klorida; 0,26% natrium karboonat, dan 0,26% kalium karbonat. Larutan ini bersifat alkali, dan oleh karenanya memicu pigmen flavonoid untuk muncul berwarna kuning.
Dari segi rasa, mie instan memiliki keunggulan dibandingkan jenis mie yang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemampuannya dalam menyerap minyak hingga 20% selama pengorengan. Selain aspek kepraktisannya, faktor rasa juga berpengaruh pada terjadinya perubahan peran mie instan dalam menu makanan di Indonesia dari sejenis makanan kecil menjadi makanan alternatif pengganti nasi.

2. Mie Berbahan Baku Non-Terigu
 Ada beberapa jenis mie berbahan baku bukan terigu yang dikenal luas oleh konsumen mie Indonesia. Jenis mie tersebut adalah Bihun, Kwe tiau, dan Sohun. Berikut disampaikan informasi yang lebih rinci dari produk-produk tersebut.
a. Bihun
Bihun merupakan jenis mie dari beras yang paling banyak dikenal. Produk ini biasa dibuat dari beras atau menir yang sifat nasinya pera atau kadar amilosanya mencapai 27% atau lebih. Pada prinsipnya bihun dibuat dengan cara merendam beras di dalam air, kemudian digiling secara basah hingga diperoleh bubur beras mentah. Air yang ada dipisahkan melalui proses pengendapan atau pengepresan. Padatan yang diperoleh kemudian dikukus atau dimasukkan ke dalam air panas hingga mengapung, dilanjutkan dengan pengadukan ulang. Setelah bagian yang tergelatinisasi tersebar merata, maka adonan dimasukkan dalam extruder sederhana yang dilengkapi die (lubang-lubang kecil) di ujungnya. Benang-benang adonan yang keluar kemudian dikukus 30-45 menit, didinginkan dan dijemur hingga kering (Winarno, 1986; Juliano dan Hicks, 1990).
Produk mie yang dibuat dari beras dan melibatkan proses ekstrusi seperti di atas disebut Senlek di Thailand. Di beberapa tempat lain, bihun dikenal dengan sebutan bihon, bijon, bifun, mehon, vermicelli dan lain-lain (Juliano dan Hicks,1990).
b. Kwe Tiau
Kwe Tiau juga dibuat dari tepung beras, tetapi ada yang dicampur dengan terigu. Beberapa pustaka menyebut kwe tiau dari campuran tepung beras dan tepung terigu  sebagai Mie Cina atau Chinese Mein (Winarno, 1986; Juliano dan Hicks, 1990) dan Rice Flat Noodle untuk produk yang dibuat dari tepung beras saja (Juliano dan Hicks, 1990).
Untuk membuat mie Cina, tepung beras dicampur dengan tepung terigu dengan perbandingan tertentu. Tepung tersebut kemudian ditambah air dan dibentuk menjadi adonan yang cukup liat. Adonan kemudian digilas pada sheeting roller beberapa kali hingga membentuk lembaran tipis dan halus, dan dimasukkan ke dalam cutting roller untuk membagi lembaran dalam beberapa pita, serta dipotong pada dimensi panjang yang dikehendaki (Winarno, 1986).
Untuk membuat Rice Flat Noodle (Kwe tiau beras murni) biasanya diawali dengan penggilingan basah terhadap beras sehingga diperoleh bubur beras mentah. Bubur dengan konsistensi yang benar (42% basis berat) dimasukkan dalam alat pembuat mie hingga separuh drumnya terendam. Drum halus tersebut kemudian diputar perlahan dan bubur yang menempel di sekelilingnya dikupas dengan plat baja anti karat pada sudut 45 derajat dan ditampung pada belt conveyor untuk dibawa ke dalam lorong pengukusan dan dikukus selama 3 menit. Lembaran (sheet) yang diperoleh dicelup sebentar ke dalam minyak dan dipotong menurut ukuran yang dikehendaki. Produk ini biasa dijual dalam keadaan segar dan hanya tahan 1-2 hari penyimpanan (Juliano dan Hicks, 1990).
c. Sohun
Sohun merupakan jenis mie yang dibuat dari pati murni. Jenis pati yang sering digunakan dalam produksi sohun adalah pati kacang hijau. Namun pengadaan pati kacang hijau yang semakin sulit dan mahal, mengakibatkan pengrajin sohun sering menggunakan pati sagu dan pati ganyong sebagai bahan baku. Proses pembuatan sohun hampir sama dengan pembuatan bihun, terutama dalam hal pengepresan adonan. Bedanya, pembuatan sohun dilakukan dengan membuat slurry pati yang kemudian digelatinisasi membentuk bubur lem sebelum dipres atau dicetak. Sedangkan pengeringannya biasanya dilakukan dengan cara dijemur pada rak yang dioleskan minyak di atas permukaannya (Direktorat Agroindustri BPPT, 1999).
2. Keragaan Teknologi Mie Non-Terigu

 Menilik potensi dan prospek yang dimiliki mie sebagai pangan penting dalam menu masyarakat Indonesia, berbagai pihak telah dan tengah mencoba untuk mengembangkan mie, bukan saja sebagai produk yang diharapkan menjadi jembatan dalam usaha penganeka-ragaman pangan, tetapi juga sebagai produk yang dapat memberikan tambahan pendapatan melalui pengembangan bisnis mie. Perhatian seperti ini lebih banyak diberikan pada pengembangan teknologi mie berbahan baku non-terigu, mengingat bahan baku non-terigu merupakan produk lokal yang mendapat dorongan lebih kuat dalam pengembangannya.
 Pengembangan teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu telah banyak dilakukan di Indonesia. Suismono (1995) melaporkan keberhasilannya dalam memproduksi mie basah dengan bahan baku utama tepung ubijalar. Sementara itu, Munarso (1998) mengembangkan teknologi pengolahan mie instan dengan bahan baku tepung beras. Kemudian tepung sorgum juga dicoba sebagai bahan baku mie untuk menggantikan terigu (Munarso dan Jumali, 2000). Belakangan dilaporkan adanya mie berbahan baku pati sagu atau tepung ganyong yang cukup popular di wilayah Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dengan sebutan Mie Gleser (Purwani et al., 2003). 
Pada umumnya teknologi pengolahan mie di atas telah dapat dikembangkan meski dalam skala yang masih kecil. Oleh sebab itu, berbagai teknologi ini dapat dikembangkan dalam lingkup pemenuhan kebutuhan rumah tangga atau maksimal pada lingkup pengembangan industri kecil untuk sementara waktu. Pada pengembangan lebih lanjut, setiap teknologi ini mempunyai peluang untuk memberikan nilai tambah dan sekaligus memecahkan problem impor terigu. Berikut ini disampaikan beberapa teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu, dengan tinjauan khusus pada kasus teknologi mie beras instan dan teknologi mie sagu.
a. Teknologi Mie Beras Instan
Berbeda dengan teknologi pengolahan beras yang lain seperti bihun atau kwe tiau, teknologi pembuatan mie beras instan mempunyai kekhususan, terutama menyangkut adanya proses sheeting dan proses instanisasi. Adanya kekhususan tersebut mengakibatkan diperlukannya penyesuaian pada sifat bahan maupun proses-proses lainnya. Hoseney (1994) menunjukkan bahwa pembuatan mie instan melibatkan proses pembentukan adonan, pencetakan (sheeting dan cutting), pengukusan (steaming), penataan mie, dan instanisasi.
Pembuatan adonan untuk mie beras dilakukan dengan menambahkan sejumlah air ke dalam tepung beras dari kelompok beras berkadar amilosa sedang (22-25%), dan diikuti dengan pengadukan dan peremasan. Fungsi air juga dapat digantikan dengan larutan Brine, yaitu larutan yang mengandung 5,18% natrium klorida; 0,26% natrium karbonat, dan 0,26% kalium karbonat (Baik et al., 1994). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh tingkat porositas mie yang lebih baik, mengingat garam-garam tersebut merupakan bahan penunjang bagi terbentuknya porositas, konsistensi, dan elastisitas yang tinggi (Papotto dan Zorn, 1986)
Untuk membuat mie beras instan, mula-mula bahan baku (tepung beras) dibiarkan mencapai kadar air keseimbangan dalam ruang terbuka. Setelah ditimbang dengan berat tertentu, bahan baku ditambah dengan CMC 3% dan dihomogenkan.  Selanjutnya ke dalam bahan tersebut ditambahkan larutan Brine sedikit demi sedikit sambil diuleni, sehingga terbentuk adonan yang kompak, tetapi tidak lengket di tangan maupun wadah pengadukan. Hasil uji coba menunjukkan bahwa keadaan tersebut dapat dicapai pada penambahan larutan Brine sekitar 70-90ml. Selanjutnya untuk mempermudah dalam proses pencetakannya, adonan ini perlu dikukus. Juliano dan Hicks (1990) menyebutkan bahwa untuk bahan yang tidak mengandung gluten, seperti  tepung beras, perlu adanya proses gelatinisasi lebih dahulu agar sebagian pati yang tergelatinisasi tersebut mampu bertindak sebagai zat pengikat.
Benang-benang mie yang diperoleh dari tahap sheeting dan cutting selanjutnya dikukus kembali sebagai tahap awal proses instantisasi. Pengukusan mie ini sering disebut sebagai proses pra-tanak (pre-cooking), mengingat proses ini menghasilkan mie yang masak dan siap dikonsumsi. Namun demikian untuk menghasilkan mie instan, proses pra-tanak perlu diikuti dengan proses penataan mie dan proses pengeringan.
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara menggoreng atau dengan penghembusan udara kering, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penggorengan akan menghasilkan mie dengan warna kuning yang lebih menarik, sementara tekstur mie yang dihasilkan bersifat lebih rapuh dan kurang lentur. Munarso (1998) melaporkan bahwa proses pengeringan (air drying) ternyata menghasilkan mie beras instan dengan tekstur yang lebih tepat. Mengingat tekstur merupakan karakter yang paling penting dalam mutu dan penerimaan mie (Toyokawa et al., 1989), maka proses pengeringan sebaiknya dilakukan dengan hembusan udara panas.
Penggunaan proses pengeringan (air dry) sebagai proses instanisasi membawa konsekuensi bahwa warna atau penampakan mie beras yang dihasilkan kurang menarik. Oleh sebab itu, dalam formulasi mie beras instan diperlukan adanya penambahan zat pewarna. Tartrazin merupakan zat pewarna pangan yang sejauh ini sering digunakan dalam produksi mie instan komersial.
Untuk memperkaya tekstur mie beras instan, dalam proses pembuatan mie ini dapat ditambahkan bahan pengubah tekstur (Texture Modifier). Pada kasus penggunaan tepung beras terfosforilasi (TBTF) sebagai texture modifier ditemukan bahwa sifat kekerasan mie ternyata tidak dipengaruhi oleh adanya penambahan TBTF. Namun demikian, efek penambahan TBTF tersebut muncul pada pengukuran persentase perpanjangan mie, yaitu semakin besar taraf penambahan TBTF semakin besar pula persentase perpanjangan mie. Gambar 1 menunjukkan pola perubahan persentase perpanjangan dan kekerasan mie beras IR 64 instan akibat penambahan TBTF pada berbagai taraf. 


 
  
Gambar 1. Persentase perpanjangan dan kekerasan mie beras IR64 pada berbagai taraf penambahan TBTF

b. Teknologi Mie Berbahan  Sagu
Mie berbahan sagu telah dikenal oleh masyarakat dalam bentuk sohun.  Meski jenisnya antara mie dan sohun berbeda baik ditinjau dari rasa maupun tekstur maka sohun merupakan bentuk mie berbahan baku dari pati sagu yang sudah populer. Haryanto dan Royaningsih (2002) melaporkan bahwa secara umum hasil mutu sohun di pasaran Jawa dan Sumatera yang diamati menunjukkan hasil yang kurang memadai.  Ini diduga sohun hanya sebagai bentuk produk sampingan dan pasarnya masih pada level bawah sehingga tingkat kebersihan maupun mutu produk sohun yang dihasilkan kurang diperhatikan. 
Hasil pengamatan dilapang dan pengujian secara laboratorium penggunaan bahan baku akan sangat mempengaruhi produk sohun yang dihasilkan.  Bila bahan baku sohun yang berasal dari sagu umurnya belum tua penuh maka akan dihasilkan sohun yang  kekenyalannya kurang dan sangat rapuh teksturnya.  Kondisi ini sebagai akibat sifat fungsional pati sagu yang belum optimal sehingga dihasilkan produk sohun yang kurang baik.  Proses pembuatan sohun pada dasarnya adalah pembuatan adonan antara pati sagu dan air, kemudian ditambah air panas sehingga terjadi proses gelatinasi.  Setelah itu adonan dimasukkan dalam cetakan yang bawahnya berlubang dengan diameter 0,4 cm dalam jumlah 10 –12 lubang.  Pada saat ditekan maka wadah yang terbuat dari seng dan dilapisi minyak ada dibawahnya dan bergerak.  Dengan demikian terbentuk tal;Itali panjang putih menyerupai tali .  Selanjutnya wadah yang tersebut dijemur selama kurang lebih 4 jam 
 Pengembangan sohun dimasa mendatang dalam upaya mengatasi  kerawanan pangan maka  sohun dapat menjadi alternatip mengingat sudah banyak dikenal masyarakat.  Pembuatan sohun yang dilengkapi berbagai  bumbu  dan siap saji dapat  menjadi alternatip sebagai  upaya  diversifikasi pangan  mie berbahan baku non terigu 
  Selanjutnya penelitian Pangloli dan Royaningsih (1987) menunjukkan bahwa substitusi pati sagu terhadap campuran pembuatan mie berbahan terigu memberi hasil yang tidak berbeda nyata sampai tingkat subsitusi 20 %, selebihnya subsitusi pati sagu terhadap mie hasilnya memiliki tekstur yang rapuh.  Dalam perkembangan dalam industri mie berbhan terigu juga diperlukan campuran pati yang dapat digunakan dari pati sagu maupun dari jagung.  Akibat pertimbangan kontinuitas bahan baku dan kwalitas yang kurang memadai maka penggunaan pati sagu sebagai bahan subsitusi tidak digunakan.

3. Peluang Penerapan  Teknologi Mie 

 Berbagai teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu telah berhasil dikembangkan meski pada skala kecil . Pada skala laboratorium, seluruh teknologi yang tersedia tersebut telah mampu menunjukkan keberhasilan kinerjanya, namun untuk pengembangannya dalam skala yang lebih besar (seperti skala pilot maupun skala komersial) beberapa teknologi tersebut masih memerlukan berbagai langkah penyempurnaan.
 Untuk menuju pada tingkat kesiapan yang memadai dalam penerapannya di skala yang lebih besar, teknologi pengolahan mie berbahan baku non terigu masih memerlukan pengujian yang terkait dengan proses scaling up. Teknologi ini juga perlu dilengkapi dengan pengkajian optimalisasi formula dalam hubungannya dengan teknik penyajian. Selain itu aspek rekayasa alat produksi juga menjadi titik perhatian penting. Hal ini mengingat teknologi mie ini memerlukan alat yang spesifik terkait dengan sifat atau perilaku proses produksinya. Sebagai contoh, mie beras instan merupakan mie dengan kekuatan tensil yang lebih rendah dibanding mie instan terigu, dan oleh karenanya diperlukan sistem penarikan benang mie pasca sheeting dan cutting dengan kecepatan yang lebih rendah.
Studi tentang preferensi mie berbahan baku non-terigu di tingkat pasar masih perlu dilakukan. Dari sisi kelayakan pengembangan industri, teknologi ini juga masih harus dievaluasi. Oleh sebab itu, langkah penting yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan penerapan teknologi ini adalah adanya penelitian peningkatan skala produksi dan pengembangan agroindustrinya yang dievaluasi secara komprehensif.
 Pendekatan pengembangan agroindustri pengolahan mie sebenarnya bukan satu-satunya pendekatan yang bisa ditempuh agar teknologi ini dapat diterapkan. Formula pembuatan mie non-terigu juga berpeluang dikembangkan menjadi produk setengah jadi berupa campuran kering (dry mix). Dalam bentuk ini, setiap rumah tangga mendapat kesempatan untuk membuat sendiri produk mie beras. Untuk itu, produk dry mix ini perlu dilengkapi dengan petunjuk pengolahan dan penyajiannya.

4.  Penutup
 
 Berdasarkan uraian diatas menunjukkan, perkembangan pangan berbentuk mie saat ini di Indonesia telah berkembang, baik menggunakan bahan baku terigu dan juga bahan baku non terigu.  Dalam upaya menghambat laju impor terigu  maka pengembangan mie berbahan baku non terigu perlu terus didorong dengan berbagai  kelengkapan teknologinya.  Meski dalam skala kecil bentuk makanan mie berbahan non terigu sudah banyak dikenal maka keadaan ini dapat terus dikembangkan.  Dalam rangka ketahanan pangan maka bentuk mie berbahan non terigu ini menjadi prospek yang sangat potensial..  Kegiatan ditingkat riset maupun operasionalnya ditingkat komersial perlu dilanjutkan dan dikembangkan secara terus menerus sehingga pangan berbentuk mie tersebut lebih memasyarakat terutama bentuk mie berbahan non terigu.

Daftar Pustaka
1. Badan Standardisasi Nasional. 1994. Standar Nasional Indonesia Mie Instan No. 3551-1994. BSN. Jakarta.
2. Baik, B.K., Z. Czuchajowska dan Y. Pomeranz. 1994. Role and contribution of starch and protein content and quality to texture profile analysis of Oriental noodles. Cereal Chemistry 71 (4): 315-320.
3. Bean, M.M. dan K.D. Nishita. 1985. Rice flours for baking. In B.O. Juliano (Ed.). Rice Chemistry and Technology. AACC. St. Paul, MN. P.539-556.
4. Dataconsult. 1995. Kasus mi segera dan perspektif pangan Indonesia. Harian Republika 29 Januari 1997. Jakarta.
5. Direktorat Agroindustri BPPT. 1999. Laporan Akhir Proyek IPTEKDA. BPP Teknologi. Jakarta.
6. Haryanto B dan S. Royaningsih .2002. Pengujian Sohun dari berbagai daerah. Prosiding Seminar Nasional sagu Kendari. Sulawesi Tenggara.
7. Hoseney, R.C. 1994. Principles of Ceral Science and Technology. American Assoc. of Cereal Chemists, Inc. St. Paul, MN. 378 pp.
8. Juliano, B.O. dan P.A. Hicks. 1990. Utilization of rice functional properties to produce rice food products with modern processing technologies. International Rice Commission Newsletter. 39: 163-178.
9. Munarso, S. J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya Dalam Pembuatan Mi Beras Instan. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. 146pp.
10. Munarso, S. J. dan Jumali. 2000. Substitusi tepung sorgum dan penambahan emulsifier dalam pembuatan mie instan. Prosiding Seminar Nasional PATPI. Yogyakarta.
11. Nishita, K.D., R.L. Roberts, dan M.M. Bean. 1976. Development of a yeast-leavened rice-bread formula. Cereal Chem. 53 (5): 626-635.
12. Pangloli, P., dan S Royaningsih, 1987. Pembuatan mie basah, biscuit marie, dan craker dari terigu dan tepung sagu.  Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan terapan.  BPP Teknologi. Jakarta
13. Papotto, G. dan F. Zorn. 1986. Recent developments of pasta products as convinience food. In. Ch. Mercier and C. Cantarelli (Eds.). Pasta and Extrusion Cooked Foods. Elsivier App.Sci. Publisher. London. p. 69-78.
14. Purwani, E.Y., Y. Setiawaty, H. Setianto, N. Richana, Sunarmani, S. J. Munarso, D. Amiarsi dan Misgiyarta. 2003. Pengembangan Teknologi Pangan Tradisional Prospektif Sebagai Alternatif Pangan Pokok. Laporan Akhir Tahun. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Jakarta.
15. Suismono 1995. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubijalar dan Manfaatnya Untuk Produk Ekstrusi Mie Basah. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
16. Toyokawa, H., G.L. Rubenthaler, J.R. Powers, and E.G. Schanus. 1989. Japanese noodle quality I. Flour components. Cereal Chem. 66(5): 382-386.
17. World Grain. 2003.  World Grain Map.  Rabo Bank. Netherlands
18. Winarno, F. G. 1986. Pemanfaatan dan pengolahan beras non nasi. Makalah dalam Konsultasi Teknis Pengembangan Industri Pengolahan Beras Non-Nasi. Departemen Perindustrian dan Pusbangtepa-IPB. Jakarta. p. 39-69.