Senin, 21 Februari 2011

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN MIE


S. Joni Munarso1) dan Bambang Haryanto2)
1) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor-16114
2) Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agroindustri, BPPT 
Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta

Abstrak


Telah diketahui bahwa mie merupakan bentuk pangan yang sudah populer di Indonesia.  Pangan mie ini asalnya dari China.  Di Indonesia banyak dijumpai pangan berbentuk mie. Tingkat teknologinya bervariasi dari yang sederhana sampai yang canggih.  Demikian pula tingkat industrinya mulai dari industri kecil sampai industri besar. Bahan baku untuk pembuatan pangan berbentuk mie ini bervariasi, dari mulai beras, gandum, aren, sagu dan bahkan tapioka. Secara laboratorium bahan baku untuk pembuatan mie dapat dilakukan tanpa harus menggunakan terigu, dimana secara skala laboratorium dapat berjalan dengan baik. Namun bagaimna penerapan di skala industri. Makalah ini mecoba membahas pengembangan industri pangan bentuk mie dengan bahan baku berasal dari gandum maupun non gandum. 
 
Kata kunci : mie, technologi, produksi, komoditas


1. Pendahuluan


 Mie merupakan jenis makanan yang diperkirakan berasal dari daratan Cina. Hal ini dapat dilihat dari budaya bangsa Cina, yang selalu menyajikan mie pada perayaan ulang tahun sebagai simbol untuk umur yang panjang (Juliano dan Hicks, 1990). Dalam perkembangannya, mie merupakan produk yang sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, mie bahkan telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi.
Beragam  jenis mie telah dikenal masyarakat, namun mie instan merupakan ragam  mie yang paling popular. Dataconsult (1995) melaporkan bahwa konsumsi mie instan oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1995 sebesar 3.544,5 juta bungkus atau setara dengan 265.838 ton. Pada tahun-tahun berikutnya konsumsi mie instan meningkat dengan laju sekitar 25%, dan pada awal tahun 2000-an sekarang ini, angka ini diperkirakan terus meningkat dengan laju sekitar 15% per tahun. Impor gandum  Indonesia tahun 2002 mencapai 4 juta ton  dan angka ini akan terus meningkat (World Grain 2003)  Sebagian besar bahan gandum tadi dibuat tepung terigu dan digunakan  sebagai bahan baku pembuatan mie.
Perkembangan konsumsi mie pesat memberi pelajaran bahwa mie merupakan jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan atau preferensi konsumen Indonesia. Namun di sisi lain, konsumsi mie seperti saat ini berpeluang menurunkan devisa negara, mengingat mie merupakan produk yang dibuat dari tepung terigu, suatu komoditas impor. Sementara itu, pembangunan pertanian nasional telah mampu menghasilkan beragam komoditas sumber karbohidrat yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya, terutama dalam rangka penyediaan pangan alternatif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pemikiran yang paling sering muncul adalah perlunya pengembangan teknologi mie berbahan baku tepung selain terigu, misalnya dengan memanfaatkan tepung beras, sorgum, kasava, sagu dan sebagainya.
Teknologi seperti dimaksud di atas sebenarnya telah tersedia, namun belum sepenuhnya dapat diterapkan mengingat kelengkapan produksinya, seperti alat proses produksi, ketersediaan bahan baku secara kontinyu baik kwantitas dan kalitas belum terpenuhi. Konsistensi produk (dalam arti mutu dan penampilannya) dalam uji coba skala semi komersial juga belum terjamin. Beberapa teknologi bahkan dihasilkan melalui proses yang belum didukung dengan perancangan yang memadai. Makalah ini membahas perkembangan teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu dan peluang penerapannya dalam produksi mie di Indonesia.

Jenis Dan Pembuatan Mie
 Aneka jenis mie dapat ditemukan di pasar. Keragamannya yang luas seringkali membuat konsumen mempertanyakan spesifikasi dari setiap produk yang bersangkutan. Dalam kegiatan sehari-hari telah dikenal berbagai sebutan untuk mie dan produk sejenis mie, misalnya mie instan, mie telur, mie basah, bihun, sohun dan sebagainya. Secara  sederhana, beragam jenis mie ini dapat dikelompokkan berdasarkan bahan baku yang digunakannya. Namun demikian, setiap mie memiliki perbedaan dalam proses produksinya. Uraian berikut menjelaskan teknik pembuatan berbagai jenis mie tersebut, sehingga dapat diketahui persamaan maupun perbedaannya.
1. Mie Berbahan Baku Terigu
 Berbagai jenis mie yang menggunakan terigu sebagai bahan baku telah dikenal masyarakat. Selain mie instan, jenis mie yang dikenal cukup luas adalah mie segar (mie mentah), mie basah, mie kering, dan mie telur. Meskipun tampak beragam, tahap awal pembuatan mie ini serupa, yakni melalui tahap pengadukan, pencetakan lembaran (sheeting), dan pemotongan (cutting). Tergantung pada komposisi bahan (ingredient), tingkat atau cara pemasakan lanjutan dan tingkat pengeringannya, maka suatu mie dapat dimasukkan dalam kelompok mie tertentu.
a. Mie Segar 
Mie Segar sering juga disebut mie mentah. Jenis ini biasanya tidak mengalami proses tambahan setelah benang mie dipotong (Hoseney, 1994). Mie segar umumnya memiliki kadar air sekitar 35%, yang oleh karenanya mie ini bersifat lebih mudah rusak. Namun jika penyimpannya dilakukan dalam refrigerator, mie segar dapat bertahan  hingga 50-60 jam dan menjadi gelap warnanya bila melebihi waktu simpan tersebut. Agar diterima konsumen dengan baik, mie segar harus berwarna putih atau kuning muda. Mie ini biasanya dibuat dari terigu jenis keras (hard wheat), agar dapat ditangani dengan mudah dalam keadaan basah.
b. Mie Basah
Mie Basah adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan. Biasanya mie basah dipasarkan dalam keadaan segar. Kadar air mie basah dapat mencapai 52% dan karenanya daya simpannya relatif singkat (40 jam pada suhu kamar). Proses perebusan dapat menyebabkan enzim polifenol-oksidase terdenaturasi, sehingga mie basah tidak mengalami perubahan warna selama distribusi. Di Cina, mie basah biasa dibuat dari terigu jenis lunak dan ditambahkan Kan-sui. Yang dimaksud kan-sui adalah larutan alkali yang tersusun oleh garam natrium dan kalium karbonat. Larutan ini digunakan untuk menggantikan fungsi natrium klorida dalam formula. Garam karbonat ini membuat adonan bersifat alkali yang menghasilkan mie yang kuat dengan warna kuning yang cerah. Warna tersebut muncul akibat adanya pigmen flavonoid yang berwarna kuning pada keadaan alkali (Hoseney, 1994). 
c. Mie Kering
Produk ini tidak mengalami proses pemasakan lanjut ketika benang mie telah dipotong, tetapi merupakan mie segar yang langsung dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10% Pengeringannya biasanya dilakukan melalui penjemuran. Karena bersifat kering, daya simpannya juga relatif panjang dan mudah penanganannya.
d. Mie Telur
Mie Telur umumnya terdapat dalam keadaan kering ketika dipasarkan. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan memasarkan mie telur dalam keadaan basah. Faktor komposisi bahan adalah faktor yang membedakan mie telur ini dengan mie kering maupun mie basah. Dalam pembuatan mie telur biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur pada saat pembuatan adonan. Penambahan telur ini merupakan suatu variasi dalam pembuatan mie di Asia, sebab secara tradisional mie oriental tidak mengandung telur. Sebaliknya di Amerika Serikat, penambahan telur merupakan suatu keharusan. Sebagai contoh, mie kering harus mengandung air kurang dari 13% dan padatan telur lebih dari 5,5% (Hoseney, 1994) 
e. Mie Instan
Mie instan seringkali disebut juga sebagai ramen atau ramyeon di luar negeri. Mie ini dibuat dengan menambahkan beberapa proses setelah mie segar diperoleh pada akhir tahap pemotongan. Tahap-tahap tambahan tersebut adalah pengukusan, pembentukan (forming, per porsi), dan pengeringan. Mie instan dengan kadar air 5-8% biasanya dikemas bersama dengan bumbunya. Dalam keadaan seperti ini, mie instan memiliki daya simpan yang lama.
Berdasarkan proses pengeringannya, dikenal dua macam mie instan. Pengeringan yang dilakukan dengan cara menggoreng menghasilkan mie instan goreng (instant fried noodle). Sedangkan bila dikeringkan dengan udara panas akan diperoleh mie instan kering (instant dried noodle).
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3551-1994, mie instan didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Berdasarkan pengertian tersebut, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie instan, yang salah satu diantaranya adalah porositas mie.
Porositas mie sangat berhubungan dengan waktu rehidrasi. Faktor ini juga sangat terkait dengan ketebalan mie. Karena itu, proses sheeting merupakan tahap yang cukup menentukan, selain faktor-faktor seperti sifat bahan baku, tahap pengukusan dan penggorengan. Untuk mendapatkan porositas, konsistensi, dan elastisitas yang tinggi, ke dalam formula juga dapat ditambahkan bahan penunjang seperti monogliserida, lesitin, natrium karbonat dan sebagainya (Papotto dan Zorn, 1986). Pada produk mie instan komersial sering digunakan pula kalium karbonat, natrium polifosfat, karboksimetil selulosa (CMC) dan kadang-kadang guar gum.
Nishita et al. (1976) menyebut CMC sebagai bahan pengganti gluten (gluten substitute). Hal ini didasarkan pada peranan penting senyawa tersebut dalam keberhasilan pengembangan roti dari tepung beras. Dalam teknologi roti beras ini, CMC digunakan sebanyak 3% (Bean dan Nishita, 1985).
Hoseney (1994) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan penerimaan konsumen yang baik, mie instan harus bebas dari ketengikan. Bila mie instan direbus sebaiknya tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air perebusan. Setelah direbus, mie harus masih cukup kompak dan permukaannya tidak lengket.
Menyangkut aspek warna, Hoseney (1994) menyatakan bahwa konsumen umumnya menyukai warna putih. Namun demikian hampir seluruh mie instan komersial di Indonesia berwarna kuning. Untuk membentuk warna kuning, dalam pembuatan adonan dapat digunakan larutan Brine (Baik et al., 1994). Larutan Brine merupakan larutan dengan komposisi 5,18% natrium klorida; 0,26% natrium karboonat, dan 0,26% kalium karbonat. Larutan ini bersifat alkali, dan oleh karenanya memicu pigmen flavonoid untuk muncul berwarna kuning.
Dari segi rasa, mie instan memiliki keunggulan dibandingkan jenis mie yang lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemampuannya dalam menyerap minyak hingga 20% selama pengorengan. Selain aspek kepraktisannya, faktor rasa juga berpengaruh pada terjadinya perubahan peran mie instan dalam menu makanan di Indonesia dari sejenis makanan kecil menjadi makanan alternatif pengganti nasi.

2. Mie Berbahan Baku Non-Terigu
 Ada beberapa jenis mie berbahan baku bukan terigu yang dikenal luas oleh konsumen mie Indonesia. Jenis mie tersebut adalah Bihun, Kwe tiau, dan Sohun. Berikut disampaikan informasi yang lebih rinci dari produk-produk tersebut.
a. Bihun
Bihun merupakan jenis mie dari beras yang paling banyak dikenal. Produk ini biasa dibuat dari beras atau menir yang sifat nasinya pera atau kadar amilosanya mencapai 27% atau lebih. Pada prinsipnya bihun dibuat dengan cara merendam beras di dalam air, kemudian digiling secara basah hingga diperoleh bubur beras mentah. Air yang ada dipisahkan melalui proses pengendapan atau pengepresan. Padatan yang diperoleh kemudian dikukus atau dimasukkan ke dalam air panas hingga mengapung, dilanjutkan dengan pengadukan ulang. Setelah bagian yang tergelatinisasi tersebar merata, maka adonan dimasukkan dalam extruder sederhana yang dilengkapi die (lubang-lubang kecil) di ujungnya. Benang-benang adonan yang keluar kemudian dikukus 30-45 menit, didinginkan dan dijemur hingga kering (Winarno, 1986; Juliano dan Hicks, 1990).
Produk mie yang dibuat dari beras dan melibatkan proses ekstrusi seperti di atas disebut Senlek di Thailand. Di beberapa tempat lain, bihun dikenal dengan sebutan bihon, bijon, bifun, mehon, vermicelli dan lain-lain (Juliano dan Hicks,1990).
b. Kwe Tiau
Kwe Tiau juga dibuat dari tepung beras, tetapi ada yang dicampur dengan terigu. Beberapa pustaka menyebut kwe tiau dari campuran tepung beras dan tepung terigu  sebagai Mie Cina atau Chinese Mein (Winarno, 1986; Juliano dan Hicks, 1990) dan Rice Flat Noodle untuk produk yang dibuat dari tepung beras saja (Juliano dan Hicks, 1990).
Untuk membuat mie Cina, tepung beras dicampur dengan tepung terigu dengan perbandingan tertentu. Tepung tersebut kemudian ditambah air dan dibentuk menjadi adonan yang cukup liat. Adonan kemudian digilas pada sheeting roller beberapa kali hingga membentuk lembaran tipis dan halus, dan dimasukkan ke dalam cutting roller untuk membagi lembaran dalam beberapa pita, serta dipotong pada dimensi panjang yang dikehendaki (Winarno, 1986).
Untuk membuat Rice Flat Noodle (Kwe tiau beras murni) biasanya diawali dengan penggilingan basah terhadap beras sehingga diperoleh bubur beras mentah. Bubur dengan konsistensi yang benar (42% basis berat) dimasukkan dalam alat pembuat mie hingga separuh drumnya terendam. Drum halus tersebut kemudian diputar perlahan dan bubur yang menempel di sekelilingnya dikupas dengan plat baja anti karat pada sudut 45 derajat dan ditampung pada belt conveyor untuk dibawa ke dalam lorong pengukusan dan dikukus selama 3 menit. Lembaran (sheet) yang diperoleh dicelup sebentar ke dalam minyak dan dipotong menurut ukuran yang dikehendaki. Produk ini biasa dijual dalam keadaan segar dan hanya tahan 1-2 hari penyimpanan (Juliano dan Hicks, 1990).
c. Sohun
Sohun merupakan jenis mie yang dibuat dari pati murni. Jenis pati yang sering digunakan dalam produksi sohun adalah pati kacang hijau. Namun pengadaan pati kacang hijau yang semakin sulit dan mahal, mengakibatkan pengrajin sohun sering menggunakan pati sagu dan pati ganyong sebagai bahan baku. Proses pembuatan sohun hampir sama dengan pembuatan bihun, terutama dalam hal pengepresan adonan. Bedanya, pembuatan sohun dilakukan dengan membuat slurry pati yang kemudian digelatinisasi membentuk bubur lem sebelum dipres atau dicetak. Sedangkan pengeringannya biasanya dilakukan dengan cara dijemur pada rak yang dioleskan minyak di atas permukaannya (Direktorat Agroindustri BPPT, 1999).
2. Keragaan Teknologi Mie Non-Terigu

 Menilik potensi dan prospek yang dimiliki mie sebagai pangan penting dalam menu masyarakat Indonesia, berbagai pihak telah dan tengah mencoba untuk mengembangkan mie, bukan saja sebagai produk yang diharapkan menjadi jembatan dalam usaha penganeka-ragaman pangan, tetapi juga sebagai produk yang dapat memberikan tambahan pendapatan melalui pengembangan bisnis mie. Perhatian seperti ini lebih banyak diberikan pada pengembangan teknologi mie berbahan baku non-terigu, mengingat bahan baku non-terigu merupakan produk lokal yang mendapat dorongan lebih kuat dalam pengembangannya.
 Pengembangan teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu telah banyak dilakukan di Indonesia. Suismono (1995) melaporkan keberhasilannya dalam memproduksi mie basah dengan bahan baku utama tepung ubijalar. Sementara itu, Munarso (1998) mengembangkan teknologi pengolahan mie instan dengan bahan baku tepung beras. Kemudian tepung sorgum juga dicoba sebagai bahan baku mie untuk menggantikan terigu (Munarso dan Jumali, 2000). Belakangan dilaporkan adanya mie berbahan baku pati sagu atau tepung ganyong yang cukup popular di wilayah Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dengan sebutan Mie Gleser (Purwani et al., 2003). 
Pada umumnya teknologi pengolahan mie di atas telah dapat dikembangkan meski dalam skala yang masih kecil. Oleh sebab itu, berbagai teknologi ini dapat dikembangkan dalam lingkup pemenuhan kebutuhan rumah tangga atau maksimal pada lingkup pengembangan industri kecil untuk sementara waktu. Pada pengembangan lebih lanjut, setiap teknologi ini mempunyai peluang untuk memberikan nilai tambah dan sekaligus memecahkan problem impor terigu. Berikut ini disampaikan beberapa teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu, dengan tinjauan khusus pada kasus teknologi mie beras instan dan teknologi mie sagu.
a. Teknologi Mie Beras Instan
Berbeda dengan teknologi pengolahan beras yang lain seperti bihun atau kwe tiau, teknologi pembuatan mie beras instan mempunyai kekhususan, terutama menyangkut adanya proses sheeting dan proses instanisasi. Adanya kekhususan tersebut mengakibatkan diperlukannya penyesuaian pada sifat bahan maupun proses-proses lainnya. Hoseney (1994) menunjukkan bahwa pembuatan mie instan melibatkan proses pembentukan adonan, pencetakan (sheeting dan cutting), pengukusan (steaming), penataan mie, dan instanisasi.
Pembuatan adonan untuk mie beras dilakukan dengan menambahkan sejumlah air ke dalam tepung beras dari kelompok beras berkadar amilosa sedang (22-25%), dan diikuti dengan pengadukan dan peremasan. Fungsi air juga dapat digantikan dengan larutan Brine, yaitu larutan yang mengandung 5,18% natrium klorida; 0,26% natrium karbonat, dan 0,26% kalium karbonat (Baik et al., 1994). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh tingkat porositas mie yang lebih baik, mengingat garam-garam tersebut merupakan bahan penunjang bagi terbentuknya porositas, konsistensi, dan elastisitas yang tinggi (Papotto dan Zorn, 1986)
Untuk membuat mie beras instan, mula-mula bahan baku (tepung beras) dibiarkan mencapai kadar air keseimbangan dalam ruang terbuka. Setelah ditimbang dengan berat tertentu, bahan baku ditambah dengan CMC 3% dan dihomogenkan.  Selanjutnya ke dalam bahan tersebut ditambahkan larutan Brine sedikit demi sedikit sambil diuleni, sehingga terbentuk adonan yang kompak, tetapi tidak lengket di tangan maupun wadah pengadukan. Hasil uji coba menunjukkan bahwa keadaan tersebut dapat dicapai pada penambahan larutan Brine sekitar 70-90ml. Selanjutnya untuk mempermudah dalam proses pencetakannya, adonan ini perlu dikukus. Juliano dan Hicks (1990) menyebutkan bahwa untuk bahan yang tidak mengandung gluten, seperti  tepung beras, perlu adanya proses gelatinisasi lebih dahulu agar sebagian pati yang tergelatinisasi tersebut mampu bertindak sebagai zat pengikat.
Benang-benang mie yang diperoleh dari tahap sheeting dan cutting selanjutnya dikukus kembali sebagai tahap awal proses instantisasi. Pengukusan mie ini sering disebut sebagai proses pra-tanak (pre-cooking), mengingat proses ini menghasilkan mie yang masak dan siap dikonsumsi. Namun demikian untuk menghasilkan mie instan, proses pra-tanak perlu diikuti dengan proses penataan mie dan proses pengeringan.
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara menggoreng atau dengan penghembusan udara kering, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penggorengan akan menghasilkan mie dengan warna kuning yang lebih menarik, sementara tekstur mie yang dihasilkan bersifat lebih rapuh dan kurang lentur. Munarso (1998) melaporkan bahwa proses pengeringan (air drying) ternyata menghasilkan mie beras instan dengan tekstur yang lebih tepat. Mengingat tekstur merupakan karakter yang paling penting dalam mutu dan penerimaan mie (Toyokawa et al., 1989), maka proses pengeringan sebaiknya dilakukan dengan hembusan udara panas.
Penggunaan proses pengeringan (air dry) sebagai proses instanisasi membawa konsekuensi bahwa warna atau penampakan mie beras yang dihasilkan kurang menarik. Oleh sebab itu, dalam formulasi mie beras instan diperlukan adanya penambahan zat pewarna. Tartrazin merupakan zat pewarna pangan yang sejauh ini sering digunakan dalam produksi mie instan komersial.
Untuk memperkaya tekstur mie beras instan, dalam proses pembuatan mie ini dapat ditambahkan bahan pengubah tekstur (Texture Modifier). Pada kasus penggunaan tepung beras terfosforilasi (TBTF) sebagai texture modifier ditemukan bahwa sifat kekerasan mie ternyata tidak dipengaruhi oleh adanya penambahan TBTF. Namun demikian, efek penambahan TBTF tersebut muncul pada pengukuran persentase perpanjangan mie, yaitu semakin besar taraf penambahan TBTF semakin besar pula persentase perpanjangan mie. Gambar 1 menunjukkan pola perubahan persentase perpanjangan dan kekerasan mie beras IR 64 instan akibat penambahan TBTF pada berbagai taraf. 


 
  
Gambar 1. Persentase perpanjangan dan kekerasan mie beras IR64 pada berbagai taraf penambahan TBTF

b. Teknologi Mie Berbahan  Sagu
Mie berbahan sagu telah dikenal oleh masyarakat dalam bentuk sohun.  Meski jenisnya antara mie dan sohun berbeda baik ditinjau dari rasa maupun tekstur maka sohun merupakan bentuk mie berbahan baku dari pati sagu yang sudah populer. Haryanto dan Royaningsih (2002) melaporkan bahwa secara umum hasil mutu sohun di pasaran Jawa dan Sumatera yang diamati menunjukkan hasil yang kurang memadai.  Ini diduga sohun hanya sebagai bentuk produk sampingan dan pasarnya masih pada level bawah sehingga tingkat kebersihan maupun mutu produk sohun yang dihasilkan kurang diperhatikan. 
Hasil pengamatan dilapang dan pengujian secara laboratorium penggunaan bahan baku akan sangat mempengaruhi produk sohun yang dihasilkan.  Bila bahan baku sohun yang berasal dari sagu umurnya belum tua penuh maka akan dihasilkan sohun yang  kekenyalannya kurang dan sangat rapuh teksturnya.  Kondisi ini sebagai akibat sifat fungsional pati sagu yang belum optimal sehingga dihasilkan produk sohun yang kurang baik.  Proses pembuatan sohun pada dasarnya adalah pembuatan adonan antara pati sagu dan air, kemudian ditambah air panas sehingga terjadi proses gelatinasi.  Setelah itu adonan dimasukkan dalam cetakan yang bawahnya berlubang dengan diameter 0,4 cm dalam jumlah 10 –12 lubang.  Pada saat ditekan maka wadah yang terbuat dari seng dan dilapisi minyak ada dibawahnya dan bergerak.  Dengan demikian terbentuk tal;Itali panjang putih menyerupai tali .  Selanjutnya wadah yang tersebut dijemur selama kurang lebih 4 jam 
 Pengembangan sohun dimasa mendatang dalam upaya mengatasi  kerawanan pangan maka  sohun dapat menjadi alternatip mengingat sudah banyak dikenal masyarakat.  Pembuatan sohun yang dilengkapi berbagai  bumbu  dan siap saji dapat  menjadi alternatip sebagai  upaya  diversifikasi pangan  mie berbahan baku non terigu 
  Selanjutnya penelitian Pangloli dan Royaningsih (1987) menunjukkan bahwa substitusi pati sagu terhadap campuran pembuatan mie berbahan terigu memberi hasil yang tidak berbeda nyata sampai tingkat subsitusi 20 %, selebihnya subsitusi pati sagu terhadap mie hasilnya memiliki tekstur yang rapuh.  Dalam perkembangan dalam industri mie berbhan terigu juga diperlukan campuran pati yang dapat digunakan dari pati sagu maupun dari jagung.  Akibat pertimbangan kontinuitas bahan baku dan kwalitas yang kurang memadai maka penggunaan pati sagu sebagai bahan subsitusi tidak digunakan.

3. Peluang Penerapan  Teknologi Mie 

 Berbagai teknologi pengolahan mie berbahan baku non-terigu telah berhasil dikembangkan meski pada skala kecil . Pada skala laboratorium, seluruh teknologi yang tersedia tersebut telah mampu menunjukkan keberhasilan kinerjanya, namun untuk pengembangannya dalam skala yang lebih besar (seperti skala pilot maupun skala komersial) beberapa teknologi tersebut masih memerlukan berbagai langkah penyempurnaan.
 Untuk menuju pada tingkat kesiapan yang memadai dalam penerapannya di skala yang lebih besar, teknologi pengolahan mie berbahan baku non terigu masih memerlukan pengujian yang terkait dengan proses scaling up. Teknologi ini juga perlu dilengkapi dengan pengkajian optimalisasi formula dalam hubungannya dengan teknik penyajian. Selain itu aspek rekayasa alat produksi juga menjadi titik perhatian penting. Hal ini mengingat teknologi mie ini memerlukan alat yang spesifik terkait dengan sifat atau perilaku proses produksinya. Sebagai contoh, mie beras instan merupakan mie dengan kekuatan tensil yang lebih rendah dibanding mie instan terigu, dan oleh karenanya diperlukan sistem penarikan benang mie pasca sheeting dan cutting dengan kecepatan yang lebih rendah.
Studi tentang preferensi mie berbahan baku non-terigu di tingkat pasar masih perlu dilakukan. Dari sisi kelayakan pengembangan industri, teknologi ini juga masih harus dievaluasi. Oleh sebab itu, langkah penting yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan penerapan teknologi ini adalah adanya penelitian peningkatan skala produksi dan pengembangan agroindustrinya yang dievaluasi secara komprehensif.
 Pendekatan pengembangan agroindustri pengolahan mie sebenarnya bukan satu-satunya pendekatan yang bisa ditempuh agar teknologi ini dapat diterapkan. Formula pembuatan mie non-terigu juga berpeluang dikembangkan menjadi produk setengah jadi berupa campuran kering (dry mix). Dalam bentuk ini, setiap rumah tangga mendapat kesempatan untuk membuat sendiri produk mie beras. Untuk itu, produk dry mix ini perlu dilengkapi dengan petunjuk pengolahan dan penyajiannya.

4.  Penutup
 
 Berdasarkan uraian diatas menunjukkan, perkembangan pangan berbentuk mie saat ini di Indonesia telah berkembang, baik menggunakan bahan baku terigu dan juga bahan baku non terigu.  Dalam upaya menghambat laju impor terigu  maka pengembangan mie berbahan baku non terigu perlu terus didorong dengan berbagai  kelengkapan teknologinya.  Meski dalam skala kecil bentuk makanan mie berbahan non terigu sudah banyak dikenal maka keadaan ini dapat terus dikembangkan.  Dalam rangka ketahanan pangan maka bentuk mie berbahan non terigu ini menjadi prospek yang sangat potensial..  Kegiatan ditingkat riset maupun operasionalnya ditingkat komersial perlu dilanjutkan dan dikembangkan secara terus menerus sehingga pangan berbentuk mie tersebut lebih memasyarakat terutama bentuk mie berbahan non terigu.

Daftar Pustaka
1. Badan Standardisasi Nasional. 1994. Standar Nasional Indonesia Mie Instan No. 3551-1994. BSN. Jakarta.
2. Baik, B.K., Z. Czuchajowska dan Y. Pomeranz. 1994. Role and contribution of starch and protein content and quality to texture profile analysis of Oriental noodles. Cereal Chemistry 71 (4): 315-320.
3. Bean, M.M. dan K.D. Nishita. 1985. Rice flours for baking. In B.O. Juliano (Ed.). Rice Chemistry and Technology. AACC. St. Paul, MN. P.539-556.
4. Dataconsult. 1995. Kasus mi segera dan perspektif pangan Indonesia. Harian Republika 29 Januari 1997. Jakarta.
5. Direktorat Agroindustri BPPT. 1999. Laporan Akhir Proyek IPTEKDA. BPP Teknologi. Jakarta.
6. Haryanto B dan S. Royaningsih .2002. Pengujian Sohun dari berbagai daerah. Prosiding Seminar Nasional sagu Kendari. Sulawesi Tenggara.
7. Hoseney, R.C. 1994. Principles of Ceral Science and Technology. American Assoc. of Cereal Chemists, Inc. St. Paul, MN. 378 pp.
8. Juliano, B.O. dan P.A. Hicks. 1990. Utilization of rice functional properties to produce rice food products with modern processing technologies. International Rice Commission Newsletter. 39: 163-178.
9. Munarso, S. J. 1998. Modifikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya Dalam Pembuatan Mi Beras Instan. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. 146pp.
10. Munarso, S. J. dan Jumali. 2000. Substitusi tepung sorgum dan penambahan emulsifier dalam pembuatan mie instan. Prosiding Seminar Nasional PATPI. Yogyakarta.
11. Nishita, K.D., R.L. Roberts, dan M.M. Bean. 1976. Development of a yeast-leavened rice-bread formula. Cereal Chem. 53 (5): 626-635.
12. Pangloli, P., dan S Royaningsih, 1987. Pembuatan mie basah, biscuit marie, dan craker dari terigu dan tepung sagu.  Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan terapan.  BPP Teknologi. Jakarta
13. Papotto, G. dan F. Zorn. 1986. Recent developments of pasta products as convinience food. In. Ch. Mercier and C. Cantarelli (Eds.). Pasta and Extrusion Cooked Foods. Elsivier App.Sci. Publisher. London. p. 69-78.
14. Purwani, E.Y., Y. Setiawaty, H. Setianto, N. Richana, Sunarmani, S. J. Munarso, D. Amiarsi dan Misgiyarta. 2003. Pengembangan Teknologi Pangan Tradisional Prospektif Sebagai Alternatif Pangan Pokok. Laporan Akhir Tahun. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Jakarta.
15. Suismono 1995. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubijalar dan Manfaatnya Untuk Produk Ekstrusi Mie Basah. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
16. Toyokawa, H., G.L. Rubenthaler, J.R. Powers, and E.G. Schanus. 1989. Japanese noodle quality I. Flour components. Cereal Chem. 66(5): 382-386.
17. World Grain. 2003.  World Grain Map.  Rabo Bank. Netherlands
18. Winarno, F. G. 1986. Pemanfaatan dan pengolahan beras non nasi. Makalah dalam Konsultasi Teknis Pengembangan Industri Pengolahan Beras Non-Nasi. Departemen Perindustrian dan Pusbangtepa-IPB. Jakarta. p. 39-69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar